A. Biografi Ibrahim
Mustafa
Jika kita membahas tentang Ibrahim Mustafa
tidak enak rasanya jika kita tidak mengetahui tentang beliau, beliau dilahirkan
di andalus pada tahun 1863 hijriah dan meninggal pada tahun 1927 hijriah[1],
Ibrahim musthafa adalah representasi kritikus dan pembaharu nahwu
abad modern yang banyak mengilhami para ahli nahwu lain mengikuti pandangan dan
pola berpikirnya. Ibrahim adalah seorang dosen pada fakultas Adab Universitas
Fu’ad al-Awal (kini menjadi Universitas Kairo).
Pada
tahun 1936 ia menyelesaikan karyanya dibidang nahwu yang ia beri judul “Ihyâ’
al-Nahwi” (revitalisasi ilmu nahwu) dan setahun kemudian yaitu pada bulan Juli
1937 diterbitkan oleh lajnat al-ta’lif wa al-tarjamah wa al-nasyr Kairo dengan
kata pengantar doktor Taha Husain yang memuji buku tersebut, kitab ini menjadi
salah satu dari kitab pertama tentang pembaharuan ilmu nahwu, dia memberi nama
kitab ini berdasarkan saran dari doktor Taha Husain.
Pada bagian pengantarnya,
Ibrahim Musthafa menyatakan sebagai berikut: ”Buku ini membahas tentang nahwu
yang aku geluti selama tuju tahun tetapi aku sajikan hanya dalam beberapa
lembar saja. Tujuanku adalah untuk mengubah metode nahwu dalam mempelajari
bahasa Arab, melenyapkan bahasan nahwu yang memberatkan para pelajar dan
menggantinya dengan cara-cara yang mudah dan simpel sehingga mereka dapat
dengan mudah mempelajari bahasa Arab, juga mengantarkan mereka dapat memahami
uslub-uslubnya (stylistikanya)…”[2]
Dan
pada akhir kitabnya dia beliau menyatakan “i’rab itu tidak ada pada fiil, i’rab
itu hanya ada pada ism, karena fi’il itu tidak bisa dii’rab.[3]
B. Pembaharuan
Ibrahim Mustafa
1. Redevenisi nahwu
Sebelum mengajukan definisi nahwu menurut
versinya, Ibrahim Musthafa terlebih dahulu mengkritik para ulama’nahwu klasik
yang pada umumnya memberi definisi nahwu dengan:”pengetahuan yang dengannya
dapat diketahui posisi akhir kata baik dari segi mu’rab maupun mabninya”
Dengan definisi nahwu seperti itu, lanjut
Ibrahim, kajian nahwu hanya berkutat dan terfokus pada pada huruf-huruf
terakhir pada sebuah kata-kata, khususnya lagi tentang mu’rab dan mabninya. Definisi seperti ini, kritik Ibrahim, sama dengan mempersempit wilayah
kajian nahwu.
Bagi Ibrahim pengertian nahwu adalah “aturan penyusunan
kalimat dan penjelasan posisi setiap kata yang ada di dalamnya, posisi kalimat
dalam kaitannya dengan kalimat lain yang lebih luas, sehingga menjadi sebuah
ungkapan/susunan yang sistematis dan memiliki pengertian yang memadai”.[4]
2. Penolakan pada amil
Sebelum mengkritik dan menolak konsep amil ini, Ibrahim Musthafa terlebh
dahulu menggali dan mengambil intisari dari konsep amil tersebut dengan
menyatakan sebagai berikut: “lebih dari seratus ribu tahun mereka menekuni dan
mengkaji masalah i’rab dan kaidah-kaidahnya, tetapi apa hasil yang mereka dapat
dan kaidah-kaidahnya, tetapi apa hasil yang mereka dapat untuk membongkar
rahasia i’rab dan hakikatnya? Pada prinsipnya kajian mereka menyatakan bahwa
I’rab adalah wujud adanya pengaruh dari amil baik yang verbal (terucapkan)
maupun yang tidak. Mereka membicarakan tentang amil, syarat-syaratnya dan cara
kerjanya seacara panjang lebar hingga seolah-olah konsep amil bagi mereka
adalah nahwu itu sendiri”.
Beliau mengklarifikasikan sebagai berikut:[5]
a. Setiap tanda i’rab merupakan pengaruh dari amil, jika amil tersebut
tidak disebutkan secara langsung maka harus diperkirakan (muqaddar), memang ada
amil yang harus tidak disebutkan tetapi yang pasti ia wajib ditakdirkan
(muqaddar). Dalam satu jumlah bisa terdapat dua amil muqaddar yang tidak sama
seperti dalam contoh:
"سقيا لك، تقديره –إسق اللهم سقيا دعائى لك”
b. Dua amil tidak boleh ada dalam waktu bersamaan untuk sebuah ma’mul.
Kalau kasus ini terjadi maka para ulama’ nahwu klasik membagi cara kerja
keduanya, satu amil mempengaruhi terhadap lafadz sedangkan amil satunya lagi
beroperasi pada segi posisinya seperti dalam kasusu kalimat:"بحسبك هذا".
Huruf “ba” pada kata “hasbika” bermal pada lafadz “hasbika” itu sendiri,
sedangkan amil ibtida’nya beramal pada posisinya yang menjadi mubtada’. Dari
kasusu semacam ini lalu mereka menciptakan teori “al-Tanâzu’” (saling betrebut
dalam beramal) yang sangat rumit dan berbelit-belit.
c. Pada prinsipnya yang dapat menjadi amil adalah fi’il semata dan hanya
beramal pada isim, baik rafa’ nashab. Fi’il hanyaa dapat merafa’kan satu isim
saja, menasabkan lebih dari satu isim tetapi dapat merafa’kan dan menasabkan
sekaligus.
d. Fi’il yang mutasharrif (bukan jamid) memiliki daya beramal sempurna,
sedangkan fi’il jamid dapat berlaku sebagai amil tapi sebagai amil yang lemah.
Ia tidak dapat beramal kepada kata yang mendahuluinya, bahkan diantaranya ada
dapat menjadi amil setelah memenuhi beberapa syarat tertentu seperti fi’il yang
berfungsi sebagai ta’ajub, juga kata ni’ma dan bi’sa. Sedangkan fi’il naqis
hanya dapat beramal kepada mubtada’ dan khabar.
e. Isim juga dapat berfungsi sebagai
amil karena dipersamakan dulu dengan fi’il seperti isim fa’il, isim maf’ul dan
isim mashdar. Setiap isim yang tidak memiliki kemiripan dengan fi’il maka ia
tidak dapat beramal atau menjadi amil. Cara kerja isim tidak terbatas pada
sesama isim saja, tetapi juga dapat beramal pada fi’il, ia dapat merafa’kan dan
menashabkan isim, tetapi terhadap fi’il ia hanya dapat menjazamkan saja.
f. Huruf memiliki dua cara ia
sebagai amil; pertama, ia berdiri sebagai huruf asli dan tidak dipersamakan
terlebih dahulu dengan fi’il, kedua dapat beramal jarena dipersamakan dengan
fi’il. Huruf dapat beramal baik terhadap isim maupun fi’il, ia merafa’kan,
menasabkan dan mengejerkannya. Terhadap isim, huruf dapat beramal menjazamkan
dan menasabkan. Jika huruf tersebut dalam proses amalnya dipersamakan dengan
fi’il, maka kekuatan amalnya dilihat dari sejauhmana huruf tersebut memiliki
kemiripan dengan fi’il baik dari segi makna maupun lafadznya. Huruf “inna”,
misalnya, ia dapat beramal karena ia memiliki arti yang berfungsi meperkuat
pernyataan (taukid). Oleh sebab itu, ia memiliki kesamaan dengan fi’il dari
segi maknanya, disamping itu huruf “inna” juga terdiri dari tiga huruf,
karenanya ia mirip dengan fi’il dari segi bentuknya. Jika “syiddah” yang ada
pada huruf “inna” itu dihilangkan dan menjadi “in” saja, maka ia akan kehilangan
daya kemiripannya dengan fi’il yang berarti pula semakin lemah beramalnya.
g. Huruf baru bisa beramal setelah
ia menjadi pasangan khusus bagi kata-kata atau kalimat tertentu. Huruf “lan”
dan “lam” misalnya, keduanya dapat beramal terhadap fi’il mudhari’ sebab
keduanya memang hanya dapat berpasangan dengan fi’il mudhari’. Ini berbeda
misalnya dengan huruf “qad”, huruf ini tidak dapat beramal seba ia tidak
memiliki pasangan khusus, ia dapat masuk pada fi’il mudhari’ maupun fi’il
madhi.
h. Sebuah huruf dapat beramal yang tidak sama dalam menurut konteks dan
posisinya, misalnya seperti hurur “lâ”, ia terkadang dapat beramal sebagaimana
amalnya “laisa” dan juga beramal seperti huruf “inna”.
i.
Posisi amil berada sebelum ma’mulnya, tetapi
jika amil itu termasuk kategori amil yang kuat, maka ia dapat diletakkan
setelah ma’mulnya.
j.
Pada prinsipnya antara
amil dan ma’mul harus terkait langsung, tidak ada pemisah diantara keduanya,
namun jika amil termasuk kategori yang kuat maka ia dapat dipisah dengan
ma’mulnya.
k. Amil-amil yang bekerja untuk fi’il memiliki posisi lebih lemah daripada
amil-amil yang bekerja untuk isim. Sebab amil-amil yang bekerja untuk fi’il
terkadang dapat dihilangkan jika telah terpenuhi syarat-syaratnya seperti
huruf-huruf yang berfungsi sebagai “adawât al-syarthi”.
l.
Sebuah kata, dapat
berfungsi sebagai amil dan juga ma’mul sekaligus, tetapi dua kata tidak dapat
saling beramal.
m. Bagian kata saja tidak dapat
berperana sebagai amil.
n. Ada beberapa amil yang hanya
dapat beramal dari segi “mahalnya” saja, bukan pada lafadznya karena adanya
hal-hal tertentu yang membuatnya demikian.
o. Sekelompok huruf yang memiliki
cara beramal sama, maka mereka akan dimasukan dalam sebuah keluarga seperti
“inna” dan “kâna”. Masing-masing dari keluarga huruf tersebut memiliki cara
kerja yang lebih luas. Itu sebabnya, ia disebut sebagai “ummul bab” (induk dari
bab), masing-masing mereka juga memiliki hak beramal yang tidak dimiliki yang
lain di luar kelompok mereka.
3. Penyatuan tempat antara mubtada, fail dan naibul fail
Menurut beliau disatukannya ketiga bab tersebut karena antara ketiganya
itu sama-sama isim, karena ketiga hukumnya sama-sama rafa’, kata beliau “jika
kita melihat bab ini, kita akan menemukan bab yang menyebabkan ketiganya itu
bisa dimasukkan dalam satu bab”.[6]
4. Fathah bukanlah alamat I’rob
Jika selama ini tanda I’rab yang dikenalkan dalam nahwu ada tiga macam
yaitu; fathah, kasrah dan dhammah, maka menurut Ibrahim musthafa fathah tidak
dimasukkan ke dalam salah satu tanda i’rab. Jadi menurutnya, tanda i’rab itu
hanya ada dua yaitu dhammah dan kasrah, keduanya muncul bukan karena adanya
pengaruh dari amil tetapi dari sipembicara sendiri untuk menentukan makna dari
kalimat.
Dhlommah adalah tanda dari isnad, sedangkan kasroh adalah tanda dari
idlafah, Dalam kategori yang dibuat Ibrahim ada dua bahasan nahwu yang termasuk
menerima tanda kasrah ini atau yang disebut idafah yaitu idafah konvensional
(kata majmuk) dan idafah yang didahului oleh huruf (jar) seperti huruf “min.
ila’ ‘an. ‘ala’ fi’ dan lain sebagainya yang olehnya disebut sebagai huruf
idhafah (hurûf al-Idhafah).
Sedangkan fathah menurut beliau bukanlah termasuk dalam tanda I’rab
karena menurut beliau fathah tidak enimbulkan atau menunjukkan ma’na apapun,
adi sebenarnya fathah itu adalah tanda yang disukai orang arab dikarenakan
fathah itu lebih ringan dari tanda yang lainnya.[7]’[8]
5. Penolakan terhadab alamat I’rab fariyah (cabang)
Disamping i’rab asli (dhammah, kasrah dan fathah), para ahli nahwu
klasik pada umumnya juga menciptakan i’rab cabang atau yang biasa disebut
dengan “al-‘Alâmat al-Far’iyyah” yang beperan sebabagi pengganti dari i’rab
yang asli.
Dalam kasus al-Asma’ al-Khamsah, seperti contoh-contoh berikut ini:
"جاء أبوك، رأيت أباك،
مررت بأبيك”,
menurut ahli nahwu klasik yang pertama alamat rafa’nya ditandai dengan huruf
“wawu”, yang kedua alamat nasabnya ditandai dengan huruf “alif” sedang dalam
contoh ketiga alamat jarnya ditandai dengan huruf “ya’”
Menurut Ibrahim
musthafa sesuatu seperti itu terlalu mengada-ngada dan sangat dipaksakan,
karena kalimat tersebut sebenarnya kalimat yang mu’rab seperti kalimat yang
lainnya, seperti pada kasus tanda “و”
ketika rafa’ atau “ي”
ketika jar pada jama’ mudzakkar salim, menurut beliau sebenarnya alamat dari
hal ter sebut bukanlah “و”
ataupun “ي”,
tetapi kalimat tersebut tandanya bisa dikembalikan pada alamt asalnya yaitu
dlommah dan kasroh.[9]
6.
Tawabi’
Tawâbi adalah
sebuah kata atau kalimat yang mengikuti kata atau kalimat sebelumnya[10].
tawabi’ tersebut adalah “al-athf, al-na’at, al-taukid dan al-badal”[11]. Ibrahim
tidak menolak adanya tawabi’ ini. Yang ia usulkan adalah agar pembahasan
tentang athaf (al-Athf) tidak dimasukkan ke dalam jajaran tawabi atau menjadi
pembahasan tersendiri. Sebab lafadz yang diatafkan memang tidak termasuk dari
tawabi, tetapi lafadz yang memiliki kedudukan yang sejajar dengan ma’thuf-nya.[12]
Pertama menurut
beliau a’thaf nasaq tidak dimasukkan dalam tawabi’, dikarenakan menurut beliau
a’taf nasaq menyerupai terhadap sifat, dan i’rab dari hal ini dimasukkan dalam
isnad ataupun idlafah, berarti menurut beliau pembahasan dari a’thaf nasaq
terfokus pada ma’na huruf a’taf, bukan pada kalimatnya.[13]
Kedua, menurut
beliau na’at sababi juga tidak bisa dimasukkan kedalam tawabi’, alasan dari
na’at sababi ini juga sama dengan a’taf nasaq, maksudnya dengan sebab apapun
na’at sababi adalah sifat.[14]
Ketiga, yang
lebih aneh menurut beliau khabar harus dimasukkan dalam tawabi’, karena dilihat
dari pengertian tawabi’ sendiri adalah kalimat yang mengikuti kalimat
sebelumnya, menurut beliau khabar dimasukkakn kedalam tawabi’ karena hal ter
sebut.[15]
7.
Isimnya (لا) نفيه للجنس
Menurut ulama
ilmu nahwu terdahulu isimnya la nafiyah liljinsi ini mabni ala fathah, dan
mahalnya nashab apabila mufrad, dan apabila mudaf atau syibeh mudaf maka
menjadi mu’rab dan tetap dibaca nashab.[16]
Akan tetapi
menurut ibrahim musthafa bukanlah seperti itu, jadi menurut beliau antara (لا)
dan isimnya itu adalah satu kesatuan yang belum sempurna tanpa khabar
setelahnya.[17]
Contoh: لاريب,لاشك
8.
Tanwin dalam alam
Menurut ulama
nahwu terdahulu “tanwin adalah alamat dari isim”[18],
sedangkan menurut ibrahim musthafa hal tersebut tidaklah benar, menurut beliau
tanwin bukanlah alamat dari isim bahkan menurut beliau sebenarnya isim itu tidak mungkin di tanwin kecuali yang nakirah.[19]
9.
Isim ghairu munsharif
Sebagaimana
ibrahim mustafa tturkan bahwasanya tanwin adalah tanda dari nakirah, dan
asalnya itu tidaklah ditanwin, maka isim ghairu munsharif itu adalah isim alam
yang ajami yaitu nama-nama sealain nama orang arab, juga tarkib mazji, dan yang
mengikuti wazan fiil, itu adalah yang tidak bisa kemasukan tanwin, dan itu
bukanlah karena ilat tapi karena memang asalnya tidak ditanwin.[20]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar