1. Biografi
1. 1. Syauqi Dhaif
Syauqi Dhaif
lahir di Aulad Hamam, Mesir pada 13 Januari 1910, dan wafat pada14 Maret 2005,
pada usia 95 tahun[1]. Dr.
Syauqi Dhaif mengawali upayanya dalam pembaharuan nahwu dengan pen-tahqiq-annya
terhadap buku karangan Ibnu Madha yaitu ar-Radd ala an-Nuhat wa al-Masyriq
fi an-Nahwi, yang telah memberi warna baru dalam khazanah ilmu nahwu.
Beliau merekonstruksi kembali pemikiran nahwu yang telah berkembang selama ini
yang dianggap menyulitkan pengajaran nahwu dengan perinsip mudah, gampang,
ringkas, sederhana, dan mudah dipahami oleh para pelajar bahasa Arab.
Beliau
menuangkan pemikirannya tersebut dalam beberapa bukunya yaitu Tajdid
al-Nahwi (1982), Taisiraat Lughawiyah (1990), dan Taisiru
al-Nahwi al-Ta’limi Qadiman wa Haditsan ma’a Nahji Tajdidihi (1986). Diantara
ketiga buku ini, yang paling masyhur dalam khazanah ilmu nahwu adalah yang
pertama yaitu Tajdid al-Nahwi, yang menyajikan konsep-konsep yang
sempurna dalam pengajaran nahwu, dan juga memberi warna-warna baru yang
disandarkan atas perinsip-perinsip dasar yang bersumber dari buku Ibnu Madha.
1. 2. Pemikiran
Syauqi Dhaif
Pemikiran
Syauqi Dhaif dalam pembaharuan nahwu kurang lebih sama dengan konsep-konsep
yang digagas oleh Ibnu Madha, hal ini dibuktikan dengan upaya beliau terhadap
pen-tahqiq-an buku al-Radd ala al-Nuhat karangan Ibnu Madha.
Beliau juga sependapat tentang pembuangan teori ’amil, membuang ’ilat
tsawani dan tsawalits, pembatalan teori qiyas, dan juga
meniadakan analisa teori-teori tanpa praktik, seperti i’lal[2].
Hanya saja dalam tahqiq-annya beliau menambahkan pendapat-pendapat yang
mengokohkan teori-teori yang ada dalam buku tersebut[3].
Dalam pen-tahqiq-annya
beliau merumuskan bahwa dalam upaya pembaharuan nahwu terdapat enam pokok
konsep yang ditawarkan, yang meliputi:
a)
Penyusunan kembali bab-bab dalam nahwu
yang tumpang tindih, menambahkan, dan mengumpulkan bab-bab yang dianggap
sejenis. Seperti contoh Bab كان واخوتها hendaknya dimasukkan pada bab fi’il
lazim. Teori merofa’kan isim dan menasobkan khobar
diubah dengan isimnya menjadi failnya dan khobarnya
menjadi hal saja.
b)
Menghapus dua peng-i’rab-an,
yaitu taqdiri dan mahalli. Seperti contoh dari I;rab taqdiri
adalah جأء
الفتى dibaca rofa’ tanpa harus
menyebutkan rofa’ muqoddar yang aslinya dzommah
c)
Menghapus i’rab yang tidak
efisien untuk kebenaran dalam pengucapan[4].
I’rab yang danggap tidak efisien tersebut adalah bab ististna’,
bab adawat syarat, kam istifhamiyah dan khabariyah, kata لاسيما danان yang disukun.
d)
Meletakkan pengertian-pengertian dan
kaidah-kaidah yang lebih spesifik pada sebagian bab-bab nahwu. Secara garis
besar Syauqi Dzaif berpendapat ada tiga definisi topik pembahsan materi nahwu
yang perlu diperbaharui, yaitu bab Maf’ul Mutlaq, Maf’ul ma’ah, dan
bab hal.
e)
Membuang penambahan-penambahan dalam
bab nahwu yang tidak penting. Seperti pembuangan kaidah-kaidah isim alat, karena
isim alat bersandar pada sima’i, dan tidak membuthkan kaidah.
f)
Penambahan topik yang dianggap
signifikan. Seperti penambahan pembahasan khusus yang disertai kaidah-kaidah
pengucapan atau makhraj, kerena dapat menumbuhkan kesadaran dalam
menjaga al-Quran[5].
g)
Beliau berpendapat bahwa fi’il mudhori’
yang bersambung dengan nun taukid tidak berbeda dengan fi’il mudhori’ yang di
dahului oleh amil nashob dimana keduanya sama-sama berkhir dengan harakat
fathah. Seperti
pada contoh kalimat لن أسافرَ dari أسافرَنَ .
Sebagaimana telah diketahui bahwa fi’il mudhori’yang bersambung dengan nun
taukid mabni fathah.
Jika fi’il mudhori’ yang bersambung dengan nun taukid
berharakat fathah karena nashob, lalu bagaimana dengan contoh: لا تمدحَنَّ امرا حتى تجرّبه. Lafadz تمدحَنَّ dinashobkan sedang lafadz tersebut didahukui oleh لا nahi yang notabene adalah huruf
jer. Apakah nashob dan jer bisa berkumpul dalam satu keadaan yang sama?
Beliau
juga merekomendasikan untuk menyamakan fi’il mudhori’ yang bersambung dengan
nun niswah dalam I’rab jazem. Seperti pada contoh: النساء يسافرْن , النساء
لن يسافرْن , النساء لم يسافرْن
1. Dr. dhoif juga menganggap bahwa khobar dapat berupa
marfu’, mansub dan majzum.
Ø Ketika nashob seperti
contoh: ضربي العبدَ مسيئاً
Ø Ketika jer seperti contoh:
وما ربُك بظلامٍ
للعبيد
2. Anggapan beliau pada isim
إنّ dan
saudara-saudaranya sebagai mubtada’ yang didaca nashob dengan hujjah bahwa
mubtada’ bisa dibaca jer ketika didahului oleh رُبَّ dan huruf jer yang berupa tambahan. Beliau berdalih:
“jika mubtada’ bisa dibaca jer, kenapa kita tidak mengatakan kalau mubtada’
bisa dibaca nashob?
Pada contoh: رُبَّ قولٍِِ أنفد من صول dan وليلٍ كموج البحر أرخى سدوله .
lafadz قول dan ليل jelas dibaca jer karena sebagai mudhof ilaih, tetapi lafadz
tersebut berkedudukan sebagai mubtada’. Sedang yang dimaksud oleh Dr. Syauqi
Dhoif sebagai mubtada’ yang dibaca nashob seperti pada contoh: إن اللهَ عليم خبير
3. Beliau mengatakan
“sesungguhnya mudhaf ilaih itu menyerupai isim yang ikut pada isim yang lain
walaupun wajib dibaca jer. Seperti contoh ثلاثة أقلام.disini jelas
bahwa lafadz أقلام mengikuti lafadz ثلاثة. Bisa juga kta katakan الأقلام الثلاثة sebagai susunan
sifat atau badal.”
4. Beliau merekomendasikan
untuk mengabaikan fa’il ataupun naibul fa’il ketika dalam bentuk dhomir
mustatir. seperti contoh: زيد قام , محمد سُئل.
Menurut hemat beliau, tidak perlu repot-repot
mengi’rabi kedua contoh yang telah disebut karena fa’il dan naibul fa’il dari
keduanya “hanya” dhomir yang tidak terlihat oleh mata.
5. Rekomendasi beliau untuk
mengabaikan I’rab pada jumlah. Pada contoh: مررت برجل يزرع lafadz يزرع dii’rabi jer karena sebagai sifat
dari lafadz رجل yang nakiroh. Tetapi pada contoh: مررت بالرجل يزرع lafadz يزرع dalam keadaan nashob karena
sebagai hal. Sebagaimana perkataan para ahli nahwu bahwa “setiap jumlah yang
jatuh setelah isim nakiroh berupa sifat, tetapi jika setelah ma’rifat maka
jumlah tersebut berkedudukan sebagai hal.
6. Beliau menganjurkan untuk
mendalami penjelasan tentang kedudukan isim mabni, isim manqus, dan isim
maqsur. Beliau berpendapat bahwa isim-isim ini perlu pejelasan lebih detail tentang
kedudukannya pada kalimat, yang mana pada setiap I’rab yang ditempati,
isim-isim ini tetap sama seperti sediakala.
Pada contoh: حضر
سيبويهِ , رأيت
سيبويهِ dan مررت
بسيبويهِ. Lafadz سيبويهِ adalah isim mabni. Dalam setiap I’rab yang ditempati, lafadz سيبويهِ tidak mengalami perubahan dalam segi lafadznya. Oleh karena itu
Dr. Syauqi Dhoif mengaggap perlu untuk
menjelaskan secara lebih rinci kedudukan satu lafadz yang berupa isim mabni,
isim maqsur, dan isim manqus dalam jumlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar