Jumat, 30 Desember 2011

Aliran Basrah dan Aliran Kuffah Dalam Ilmu Nahwu

PEMBAHASAN

1.    Aliran Basrah dan Aliran Kuffah Dalam Ilmu Nahwu
1.a. Munculnya aliran Basrah
            Bashrah adalah kota perdagangan di pinggir negara-negara Arab. Di sana, mengalir sungai Tigris dan Euphrates yang bermuara ke laut. Basrah terletak pada jarak tiga ratus mil tenggara Baghdad. Namanya diperoleh dari sifat tanahnya. Bashrah adalah tempat yang tanahnya halus berbatu, banyak mengandung air dan bagus untuk pertanian. Hal ini diperlihatkan dengan adanya buluh (qashb), yaitu: tanah yang cocok untuk dijadikan tempat tinggal, dan memungkinkan untuk berkembang dan mengambil manfaat dari tempat-tempatnya yang bersifat natural.
            Menilik masa perkembangan ilmu nahwu, ada 4 (empat) fase. Pertama, masa peletakan dan penyusunan. Ini berpusat di Bashrah, sejak peletakan pertama oleh Abu al-Aswad sampai al-Khalil ibn Ahmad. Kedua, masa pertumbuhan, yaitu masa perkembangan di mana kiblat nahwu sudah dua arah Bashrah dan Kufah. Tokoh pada fase ini Abu Ja’far Muhammad ibn al-Hasan al-Ru’asi, Abu Utsman al-Mazini al-Bashri dan Ya’qub ibn al-Sikkit al-Kufi. Ketiga, fase kematangan dan penyempurnaan. Otoritas ilmu nahwu pada masa ini masih berada di tangan ulama-ulama di kedua kota tersebut. Mereka itu, selain kedua tokoh di atas adalah al-Mubarrad al-Bashri dan Tsa’lab al-Kufi. Keempat, fase terakhir nahwu sudah menyebar ke berbagai kota, seperti Baghdad, Mesir, Syiria, dan Andalusia. Penyebar nahwu di kota-kota ini adalah para alumni madrasah-madrasah yang berada di Bashrah dan Kufah.
            Nahwu tumbuh dan berkembang di tangan para ulama Bashrah. Pada awal perkembangannya, nahwu masih merupakan ilmu dengan lingkup yang kecil. Abu al-Aswad menemukannya dan kemudian dikuatkan oleh Imam Ali ra. Pada masa peletakan dan penyusunan yang terjadi di Bashrah, ada beberapa faktor yang mendorong ulama-ulama di kota ini melakukannya. Diantaranya adalah faktor agama, nasionalisme Arab, dan juga faktor sosiologis. Faktor agama sangat terkait erat dengan keinginan atau tanggung jawab para ulama untuk menjaga dan menyampaikan al-Qur’an agar terhindar dari kesalahan. Hal ini didasarkan kenyataan adanya kesalahan baca beberapa ayat oleh sebagian orang. Sudah tentu mereka adalah orang-orang non-Arab. Faktor kedua adalah nasionalisme Arab. Faktor ini berkaitan dengan adanya keinginan orang-orang Arab untuk memperkuat kedudukan Bahasa Arab di tengah pembaurannya dengan bahasa-bahasa lain, disamping adanya kekhawatiran akan kepunahannya. Sedangkan faktor sosiologis berkaitan dengan kebutuhan masyarakat untuk memahami bahasa al-Qur’an[1].
            Yang dimaksud faktor agama di sini terutama adalah usaha pemurnian Al-Qur'an dari lahn (salah baca). Sebetulnya, fenomena lahn itu sudah muncul pada masa Nabi Muhammad
masih hidup, tetapi frekuensinya masih jarang. Dalam sebuah riwayat dikatakanbahwa ada seorang yang berkata salah (dari segi bahasa) dihadapanNabi, maka beliau berkata kepada para sahabat: "Arsyidu: akha:kum fa innahu qad dlalla" (Bimbinglah teman kalian, sesungguhnya ia telah tersesat).
Perkataan dlalla 'tersesat' pada hadits tersebut merupakan peringatan yang cukup keras dari Nabi. Kata itu lebih keras artinya dari akhtha'a 'berbuat salah' atau zalla 'keseleo lidah'. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa salah seorang gubernur pada pemerintahan Umar bin Khattab menulis surat kepadanya dan di dalamnya terdapat lahn, maka Umar membalasnya dengan diberi kata-kata "qanni' kita:bak sawthan" 'berhatihatilah dalam menulis' (Abul Fath, tanpa tahun). Lahn itu semakin lama semakin sering terjadi, terutama ketika bahasa Arab telah mulai menyebar ke negara-negara atau bangsa-bangsa lain non-Arab. Pada saat itulah mulai terjadi akulturasi dan proses saling mempengaruhi antara bahasa Arab dan bahasa bahasa lain. Para penutur bahasa Arab dari non-Arab sering kali berbuat lahn dalam berbahasa Arab, sehingga hal itu dikhawatirkan akan terjadi juga pada waktu mereka membaca Al-Qur'an. Dari sisi sosial budaya, bangsa Arab dikenal mempunyai kebanggaan dan fanatisme yang tinggi terhadap bahasa yang mereka miliki. Hal ini mendorong mereka berusaha keras untuk memurnikan bahasa Arab dari pengaruh asing. Kesadaran itu semakin lama semakin mengkristal, sehingga tahap demi tahap mereka mulai memikirkan langkah-langkah pembakuan bahasa dalam bentuk kaidah-kaidah[2].
            Ilmu nahwu di Basrah yang kemudian dikenal dengan istilah Al-Madrasah Al- Basriyah (aliran Basrah) berkembang dengan pesat. Selanjutnya, Al-Tantawi (1973: 69) membagi aliran Basrah berdasarkan periode dan tokoh-tokohnya kepada tujuh tingkatan, mulai dari Abu Al- Aswad Al-Du ali-(69 H) sampai dengan Al- Mubarrid (285 H).
Sumber kajian aliran Basrah dalam menetapkan kaidah nahwu dan kebahasaan adalah (a) Alquran Al-Kari-m, (b) bahasa kabilah-kabilah Arab, dan (c) puisi-puisi Arab[3].
   Menurut Muhammad al-Thanthawi (108-115), pesatnya aliran Basrah didukung oleh situasi-situasi berikut:
Pertama, banyak warga Bangsa Arab dari suku yang dikenal fasih dalam tradisi berbahasa Arab mengungsi ke Bashrah, terutama dari suku Qais dan Tamim. Kedua, adanya pasar “al-Mirbad” di Bashrah. Pasar ini kedudukannya seperti pasar “Ukadh” di Arab pada zaman jahiliyah. Di pasar ini, para sastrawan (penyair), ahli sejarah dan ahli bahasa berkumpul untuk “beradu” kemampuan. Dari sini pula para ahli nahwu mendapatkan sesuatu sebagai rujukan kaidah nahwunya. Ketiga, posisi geografis yang mendukung kemurnian Bahasa Arab. Bashrah berada di tengah padang sahara, sebelah selatan laut dan sebelah baratnya Lembah Najd[4].
Selain itu, aliran Basrah dapat berkembang dengan sangat pesat hingga terkenal di kalangan para ulama Nahwu (nahwiyyin) dikarenakan begitu gigihnya para pelajar (thalib) dalam memelajari Ilmu Nahwu yang diajarkan langsung oleh penyusun kitab pertama kali (Abu Aswad ad-Duali). Sebab utama begitu semangatnya mereka dalam mendalami Ilmu Nahwu adalah karena negeri Basrah saat itu telah bercampur dengan penduduk pribumi dengan non pribumi (‘azam) yang layaknya hidup seperti penduduk asli.




1.b. Munculnya aliran Kufah
            Kufah terletak di tepian lembah sungai Efrat yang terkenal dengan kesuburan tanahnya. Di sebelah Timur berbatasan langsung dengan sungai Efrat, di sebelah Selatan berbatasan dengan Najf, dan di sebelah Barat dan Utaranya berbatasan langsung dengan padang pasir yang sangat luas dan membentang hingga ke kota Syam. Kufah didirikan oleh Sa’d ibn Abi Waqash pada tahun 16-17 H, atau antara 2-3 tahun setelah berdirinya kota Bashrah.
            Nahwu aliran Kufah terdapat di negeri Kufah yang terkenal sebagai negerinya para muhadditsin, penyair dan ahli qira’ah. Sehingga, terdapat di dalamnya tiga ulama yang masyhur dalam qira’ah, yaitu Kisai, Ashim bin Abi an-Nujud, dan Hamzah. Kisai adalah salah satu pendiri madzhab Kufah. Pendapatnya terhadap suatu masalah gramatika bahasa Arab selalu menjadi acuan, baik pengikutnya atau yang lain. Ciri khas madzhab ini adalah lebih sering menggunakan qiyas dalam memecahkan sebuah masalah yang berkaitan dengan gramatika Arab. Mayoritas para ahli bahasa dan ahli Nahwu membandingkan antara madzhab Kufah dengan Basrah. Sebagai contoh, nama-nama seperti Abu Ja’far ar-Ruasi mengikuti madzhab ulama Basrah Abu Amr al-A’la dan Isa bin Umar. Begitu juga Khalah Muaz bin Muslim al-Hara’i juga memanfaatkan madzhab keduanya dalam memelajari Nahwu dan Sharaf. Kisai menganut madzhab Isa bin Umar, Khalil bin Ahmad, Yunus bin Habib yang mereka semua mengadopsi pemikiran-pemikiran Sibawaih.
            Lepas dari siapa pendiri madzhab Kufah, ada seorang tokoh Kufah yang paling berjasa dalam proses ilmiah bahasa Arab, yaitu Khalil bin Ahmad al-Farahidi (100-170 H). Ia adalah seorang yang sangat luas pengetahuannya (ilmu hadits, fiqh, bahasa, matematika, logika formal) dan didukung dengan kecerdasan yang sangat luar biasa. Ilmu Nahwu ia kembangkan sedemikain rupa, sehingga dengan kata lain bahasa Arab benar-benar menjadi bahasa ilmiah dan dapat dipelajari secara metodologis dan sistematis. Khalil tidak saja melengkapi dan memperluas teori-teori Abu Aswad dan para muri dnya, tetapi secara spektakuler telah mencetuskan teori baru, yaitu tentang Mubtada’, Khabar, Kana, Inna dan saudara-saudaranya berserta fungsi dan cara kerja masing-masing. Ia juga sebagai pembuat kategori atau klasifikasi kata kerja transitif (al-af’al al-muta’diyah) baik yang sebagai obyek (maf’ul bih) satu, dua atau beberapa obyek. Ia juga perumus al-fail dan berbagai jenis al-maf’ul, al-khal, al-tamyiz, al-tawabi’, al-Nida’  berikut macamnya, kata benda (tanwin musharif) dan sebaliknya. Semuanya ia definisikan dan disusun metode-metodenya secara rapi.
            Tidak hanya di situ bentuk inovasi Khalil. Lebih jauh lagi, ia membuat teori-teori bahasa lain yang kemudian disebut dengan Ilmu Sharf. Ia kategorikan semua (yang kita kenal sekarang dengan stulasi, ruba’i, khumasi dan lain-lain). Karena pengetahuan matematika dan musiknya yang mendalam, ia mampu membuat rumusan berbagai nada bunyi puisi-puisi Arab dan aturan-aturannya yang kemudian dikenal dengan ilmu Arud wal Qawafi. Pengaruh matematika pada metode Khalil dalam penyusunan kata-kata Arab ini telah memengaruhi dan mengilhami ia untuk mengelola huruf-huruf Hijaiyah. Dari dua puluh delapan huruf Hijaiyah oleh Khalil dijadikan derivasinya dan dikelompokkan dalam cabang-cabangnya (dalam pandangan Khalil pada dasarnya kata dalam bahasa Arab hanya berjumlah dari penggabungan dari lima huruf lebih, maka dikategorikan sebagai huruf ziddah). Ia juga yang merumuskan a-ba-ja-dun.
Dengan kata lain, Khalil lebih mengedepankan qiyas daripada mencari informasi langsung dari masyarakat (sima’i). Sejak kemunculan Khalil dengan qiyas-nya itu, sekarang qiyas berperan sangat besar dalam berbagai perdebatan dalam dunia kebahasan (linguistik) Arab.
            Sebenarnya, berdirinya Nahwu mazhab Kufah adalah karena jasa Ali Ibn Hamzah al-Kasai beserta muridnya Yahya Ibn Ziyad al-Fara’i, dan bahwasanya promotor utama bagi pembentukan Nahwu mazhab Kufah ini adalah al-Akhfasy al-Ausath Said Ibn Mas’adah yang terinspirasi dari ide-ide dan pemikiran gurunya Sibawaih dan al-Khalil. Aliran Kufah muncul sebagai suatu aliran tersendiri dalam bidang kajian nahwu sesudah satu abad lamanya dari lahirnya aliran Basrah. Para tokoh aliran Kufah tidak ikut bersama-sama dengan para tokoh aliran Basrah dalam kajian nahwu disebabkan mereka memusatkan perhatiannya dalam bidang lain, seperti periwayatan puisi dan pengumpulannya, periwayatan jenis-jenis qira at, di samping perhatian mereka dalam kajian yang mempunyai hubungan dengan masalah-masalah fikih (Daif, 1972: 153). Awal munculnya aliran Kufah sebagai suatu aliran nahwu tersendiri terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah. Menurut Al-Makhzumi (1958: 67-68), ada yang berpendapat bahwa aliran Kufah dimulai oleh Abu Ja far Al-Ruasidan Mu adh bin Muslim Al-Harra (187 H). Ada juga yang berpendapat bahwa aliran Kufah dimulai dengan munculnya Al-Kisai (189 H) dan Al-Farra' (207 H). Sekalipun demikian, Al-Tantawi (1973: 69) tetap membagi aliran Kufah berdasarkan periode dan tokoh-tokohnya menjadi lima tingkatan,mulai dari Al-Ru a - si- dan Mu a-dh bin Muslim Al-Harra- (187 H) sampai Tha lab (291 H). Sumber kajian aliran Kufah dalammenetapkan kaidah-kaidah nahwu dan kebahasaan adalah (a) Alquran Al-Kari-m, (b) bahasa kabilah-kabilah Arab, (c) puisi puisi Arab, dan (d) nahwu aliran Basrah (Al-Makhzumi,1958:337, Al-Qifti, 1958: 258, Al-Anbari, 1953: 208, Abd. Hamid, 1976: 202)[5].

2.    Ciri dan perbedaan Aliran Basrah dan Kufah
            Dua aliran utama yakni Basrah dan Kufah keduanya tidak dapat disangkal sebagai bagian kajian nahwu (gramatika Arab). Seandainya aliran Bashrah disebut peletak dasar nahwu maka aliran Kufah merupakan mata rantai dari pengokoh kajian gramatika Arab terutama dengan ciri khas tertentu yang terkadang merupakan pendekatan yang berdiri diametral dengan aliran Bashrah.
Secara sederhana dapat dikatakan perbedaan kedua aliran nahwu tersebut terletak pada perbedaan metodologi yang digunakan oleh keduanya. Aliran Bashrah dalam banyak hal lebih berupaya menciptakan kaidah berdasarkan banyak contoh. Dengan demikian aliran Bashrah menganggap contoh yang sedikit tidak dapat dijadikan dalil atau paling tidak mereka menganggap hal itu sebagai sesuatu yang syaadz. Berlawanan dengan aliran Bashrah, kita menemukan aliran Kufah lebih menganggap bahasa yang benar haruslah sebagaimana diriwayatkan oleh penuturnya betapapun syadznya riwayat itu.
            Perbedaan antara Nahwu Basrah dan Kufah terletak pada perlakuan data bahasa. Bersifat prespektif, dalam pengertian kaidah-kaidah Nahwu disimpulkan dari gejala-gejala umum dari data bahasa yang ada. Kesimpulan tersebut dijadikan sebagai kaidah. Data-data bahasa yang menyimpang dari gejala-gejala umum ini diperlakukan sebagai ‘syadz (tidak dijadikan hujjah). Bersifat deskriptif, dalam pengertian semua data bahasa yang berasal orang Arab yang bahasanya masih dianggap murni, dapat dijadikan acuan dalam membuat kaidah bahasa[6].
            Di antara ciri khas madzhab/aliran Basrah adalah mereka selalu berpegang pada pendapat Jumhur bahasa apabila terdapat khilafiyah. Jika pendapat menyalahi jumhur, mereka dita’wilkan atau digolongkan sebagai kelompok yang ganjil (syadz), dan aliran ini selalu menggunakan sima’i dalam memecahkan suatu masalah yang berkaitan dengan gramatika bahasa Arab.
Sedangkan untuk aliran Kufah, secara eksplisit Dr. Shalah Rawwaiy menyebutkan tiga macam ciri-ciri umum aliran kufah berikut ;
1. keluasan dalam penggunaan riwayat
Aliran Kufah sangat bertopang pada syi’ir orang Arab pedalaman
2. keluasaan dalam analogi (qiyas)
Dalam hal ini kritik dapat dikedepankan mengingat terkadang mereka hanya menggunakan sebuah syi’ir sebagai syahid.
3. perbedaan penggunaan istilah nahwu dan hal-hal yang berkaitan dengan amil dan ma’mul[7].



DAFTAR PUSTAKA

Najmuddin H. Abd. Safa, Jurnal BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 2, Agustus 2008  Universitas Hasanudin Makasar.

Ridwan, Jurnal Lingua Humaniora dan Budaya UIN Malang, 2009






PENUTUP


Kesimpulan
           
Masa perkembangan ilmu nahwu, ada 4 (empat) fase. Pertama, masa peletakan dan penyusunan. Ini berpusat di Bashrah, sejak peletakan pertama oleh Abu al-Aswad sampai al-Khalil ibn Ahmad. Kedua, masa pertumbuhan, yaitu masa perkembangan di mana kiblat nahwu sudah dua arah Bashrah dan Kufah. Tokoh pada fase ini Abu Ja’far Muhammad ibn al-Hasan al-Ru’asi, Abu Utsman al-Mazini al-Bashri dan Ya’qub ibn al-Sikkit al-Kufi. Ketiga, fase kematangan dan penyempurnaan. Otoritas ilmu nahwu pada masa ini masih berada di tangan ulama-ulama di kedua kota tersebut. Mereka itu, selain kedua tokoh di atas adalah al-Mubarrad al-Bashri dan Tsa’lab al-Kufi. Keempat, fase terakhir nahwu sudah menyebar ke berbagai kota, seperti Baghdad, Mesir, Syiria, dan Andalusia. Penyebar nahwu di kota-kota ini adalah para alumni madrasah-madrasah yang berada di Bashrah dan Kufah.
Ilmu nahwu di Basrah yang kemudian dikenal dengan istilah Al-Madrasah Al- Basriyah (aliran Basrah), muncul pada tahun 69 H dengan tokoh utama Abu Al Aswad Ad Duali. Sedangkan Al-Madrasah Al- Kufiyah (aliran nahwu yang lahir di Kufah) muncul pada 189 H dengan tokoh utama Al Kisa’i.
            Di antara ciri khas madzhab/aliran Basrah adalah mereka selalu berpegang pada pendapat Jumhur bahasa apabila terdapat khilafiyah. Jika pendapat menyalahi jumhur, mereka dita’wilkan atau digolongkan sebagai kelompok yang ganjil (syadz), dan aliran ini selalu menggunakan sima’i dalam memecahkan suatu masalah yang berkaitan dengan gramatika bahasa Arab.
Sedangkan untuk aliran Kufah, secara eksplisit Dr. Shalah Rawwaiy menyebutkan tiga macam ciri-ciri umum aliran kufah berikut ;
1. keluasan dalam penggunaan riwayat
Aliran Kufah sangat bertopang pada syi’ir orang Arab pedalaman
2. keluasaan dalam analogi (qiyas)
Dalam hal ini kritik dapat dikedepankan mengingat terkadang mereka hanya menggunakan sebuah syi’ir sebagai syahid.
3. perbedaan penggunaan istilah nahwu dan hal-hal yang berkaitan dengan amil dan ma’mul.


[1] Ridwan, Jurnal Lingua Humaniora dan Budaya UIN Malang, 2009
[2] http://journal.um.ac.id
[3] Najmuddin H. Abd. Safa, Jurnal BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 2, Agustus 2008  Universitas Hasanudin Makasar.
[4] Ridwan, Jurnal Lingua Humaniora dan Budaya UIN Malang, 2009

[5] Najmuddin H. Abd. Safa, Jurnal BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 2, Agustus 2008 Universitas Hasanudin Makasar.


[6] http://kiflipaputungan.wordpre.com
[7] http://forumstudinahwu.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar