Selasa, 26 Juni 2012

Ibrahim Mustafa


A.    Biografi Ibrahim Mustafa
        Jika kita membahas tentang Ibrahim Mustafa tidak enak rasanya jika kita tidak mengetahui tentang beliau, beliau dilahirkan di andalus pada tahun 1863 hijriah dan meninggal pada tahun 1927 hijriah[1],  Ibrahim musthafa adalah representasi kritikus dan pembaharu nahwu abad modern yang banyak mengilhami para ahli nahwu lain mengikuti pandangan dan pola berpikirnya. Ibrahim adalah seorang dosen pada fakultas Adab Universitas Fu’ad al-Awal (kini menjadi Universitas Kairo).
 Pada tahun 1936 ia menyelesaikan karyanya dibidang nahwu yang ia beri judul “Ihyâ’ al-Nahwi” (revitalisasi ilmu nahwu) dan setahun kemudian yaitu pada bulan Juli 1937 diterbitkan oleh lajnat al-ta’lif wa al-tarjamah wa al-nasyr Kairo dengan kata pengantar doktor Taha Husain yang memuji buku tersebut, kitab ini menjadi salah satu dari kitab pertama tentang pembaharuan ilmu nahwu, dia memberi nama kitab ini berdasarkan saran dari doktor Taha Husain.
        Pada bagian pengantarnya, Ibrahim Musthafa menyatakan sebagai berikut: ”Buku ini membahas tentang nahwu yang aku geluti selama tuju tahun tetapi aku sajikan hanya dalam beberapa lembar saja. Tujuanku adalah untuk mengubah metode nahwu dalam mempelajari bahasa Arab, melenyapkan bahasan nahwu yang memberatkan para pelajar dan menggantinya dengan cara-cara yang mudah dan simpel sehingga mereka dapat dengan mudah mempelajari bahasa Arab, juga mengantarkan mereka dapat memahami uslub-uslubnya (stylistikanya)…”[2]
Dan pada akhir kitabnya dia beliau menyatakan “i’rab itu tidak ada pada fiil, i’rab itu hanya ada pada ism, karena fi’il itu tidak bisa dii’rab.[3]
B.     Pembaharuan Ibrahim Mustafa
1.      Redevenisi nahwu
Sebelum mengajukan definisi nahwu menurut versinya, Ibrahim Musthafa terlebih dahulu mengkritik para ulama’nahwu klasik yang pada umumnya memberi definisi nahwu dengan:”pengetahuan yang dengannya dapat diketahui posisi akhir kata baik dari segi mu’rab maupun mabninya”
Dengan definisi nahwu seperti itu, lanjut Ibrahim, kajian nahwu hanya berkutat dan terfokus pada pada huruf-huruf terakhir pada sebuah kata-kata, khususnya lagi tentang mu’rab dan mabninya. Definisi seperti ini, kritik Ibrahim, sama dengan mempersempit wilayah kajian nahwu.
Bagi Ibrahim pengertian nahwu adalahaturan penyusunan kalimat dan penjelasan posisi setiap kata yang ada di dalamnya, posisi kalimat dalam kaitannya dengan kalimat lain yang lebih luas, sehingga menjadi sebuah ungkapan/susunan yang sistematis dan memiliki pengertian yang memadai”.[4]
2.      Penolakan pada amil
Sebelum mengkritik dan menolak konsep amil ini, Ibrahim Musthafa terlebh dahulu menggali dan mengambil intisari dari konsep amil tersebut dengan menyatakan sebagai berikut: “lebih dari seratus ribu tahun mereka menekuni dan mengkaji masalah i’rab dan kaidah-kaidahnya, tetapi apa hasil yang mereka dapat dan kaidah-kaidahnya, tetapi apa hasil yang mereka dapat untuk membongkar rahasia i’rab dan hakikatnya? Pada prinsipnya kajian mereka menyatakan bahwa I’rab adalah wujud adanya pengaruh dari amil baik yang verbal (terucapkan) maupun yang tidak. Mereka membicarakan tentang amil, syarat-syaratnya dan cara kerjanya seacara panjang lebar hingga seolah-olah konsep amil bagi mereka adalah nahwu itu sendiri”.
Beliau mengklarifikasikan sebagai berikut:[5]
a.       Setiap tanda i’rab merupakan pengaruh dari amil, jika amil tersebut tidak disebutkan secara langsung maka harus diperkirakan (muqaddar), memang ada amil yang harus tidak disebutkan tetapi yang pasti ia wajib ditakdirkan (muqaddar). Dalam satu jumlah bisa terdapat dua amil muqaddar yang tidak sama seperti dalam contoh:
"سقيا لك، تقديره إسق اللهم سقيا دعائى لك
b.      Dua amil tidak boleh ada dalam waktu bersamaan untuk sebuah ma’mul. Kalau kasus ini terjadi maka para ulama’ nahwu klasik membagi cara kerja keduanya, satu amil mempengaruhi terhadap lafadz sedangkan amil satunya lagi beroperasi pada segi posisinya seperti dalam kasusu kalimat:"بحسبك هذا". Huruf “ba” pada kata “hasbika” bermal pada lafadz “hasbika” itu sendiri, sedangkan amil ibtida’nya beramal pada posisinya yang menjadi mubtada’. Dari kasusu semacam ini lalu mereka menciptakan teori “al-Tanâzu’” (saling betrebut dalam beramal) yang sangat rumit dan berbelit-belit.
c.       Pada prinsipnya yang dapat menjadi amil adalah fi’il semata dan hanya beramal pada isim, baik rafa’ nashab. Fi’il hanyaa dapat merafa’kan satu isim saja, menasabkan lebih dari satu isim tetapi dapat merafa’kan dan menasabkan sekaligus.
d.      Fi’il yang mutasharrif (bukan jamid) memiliki daya beramal sempurna, sedangkan fi’il jamid dapat berlaku sebagai amil tapi sebagai amil yang lemah. Ia tidak dapat beramal kepada kata yang mendahuluinya, bahkan diantaranya ada dapat menjadi amil setelah memenuhi beberapa syarat tertentu seperti fi’il yang berfungsi sebagai ta’ajub, juga kata ni’ma dan bi’sa. Sedangkan fi’il naqis hanya dapat beramal kepada mubtada’ dan khabar.
e.        Isim juga dapat berfungsi sebagai amil karena dipersamakan dulu dengan fi’il seperti isim fa’il, isim maf’ul dan isim mashdar. Setiap isim yang tidak memiliki kemiripan dengan fi’il maka ia tidak dapat beramal atau menjadi amil. Cara kerja isim tidak terbatas pada sesama isim saja, tetapi juga dapat beramal pada fi’il, ia dapat merafa’kan dan menashabkan isim, tetapi terhadap fi’il ia hanya dapat menjazamkan saja.
f.        Huruf memiliki dua cara ia sebagai amil; pertama, ia berdiri sebagai huruf asli dan tidak dipersamakan terlebih dahulu dengan fi’il, kedua dapat beramal jarena dipersamakan dengan fi’il. Huruf dapat beramal baik terhadap isim maupun fi’il, ia merafa’kan, menasabkan dan mengejerkannya. Terhadap isim, huruf dapat beramal menjazamkan dan menasabkan. Jika huruf tersebut dalam proses amalnya dipersamakan dengan fi’il, maka kekuatan amalnya dilihat dari sejauhmana huruf tersebut memiliki kemiripan dengan fi’il baik dari segi makna maupun lafadznya. Huruf “inna”, misalnya, ia dapat beramal karena ia memiliki arti yang berfungsi meperkuat pernyataan (taukid). Oleh sebab itu, ia memiliki kesamaan dengan fi’il dari segi maknanya, disamping itu huruf “inna” juga terdiri dari tiga huruf, karenanya ia mirip dengan fi’il dari segi bentuknya. Jika “syiddah” yang ada pada huruf “inna” itu dihilangkan dan menjadi “in” saja, maka ia akan kehilangan daya kemiripannya dengan fi’il yang berarti pula semakin lemah beramalnya.
g.       Huruf baru bisa beramal setelah ia menjadi pasangan khusus bagi kata-kata atau kalimat tertentu. Huruf “lan” dan “lam” misalnya, keduanya dapat beramal terhadap fi’il mudhari’ sebab keduanya memang hanya dapat berpasangan dengan fi’il mudhari’. Ini berbeda misalnya dengan huruf “qad”, huruf ini tidak dapat beramal seba ia tidak memiliki pasangan khusus, ia dapat masuk pada fi’il mudhari’ maupun fi’il madhi.
h.      Sebuah huruf dapat beramal yang tidak sama dalam menurut konteks dan posisinya, misalnya seperti hurur “lâ”, ia terkadang dapat beramal sebagaimana amalnya “laisa” dan juga beramal seperti huruf “inna”.
i.         Posisi amil berada sebelum ma’mulnya, tetapi jika amil itu termasuk kategori amil yang kuat, maka ia dapat diletakkan setelah ma’mulnya.
j.        Pada prinsipnya antara amil dan ma’mul harus terkait langsung, tidak ada pemisah diantara keduanya, namun jika amil termasuk kategori yang kuat maka ia dapat dipisah dengan ma’mulnya.
k.      Amil-amil yang bekerja untuk fi’il memiliki posisi lebih lemah daripada amil-amil yang bekerja untuk isim. Sebab amil-amil yang bekerja untuk fi’il terkadang dapat dihilangkan jika telah terpenuhi syarat-syaratnya seperti huruf-huruf yang berfungsi sebagai “adawât al-syarthi”.
l.        Sebuah kata, dapat berfungsi sebagai amil dan juga ma’mul sekaligus, tetapi dua kata tidak dapat saling beramal.
m.     Bagian kata saja tidak dapat berperana sebagai amil.
n.       Ada beberapa amil yang hanya dapat beramal dari segi “mahalnya” saja, bukan pada lafadznya karena adanya hal-hal tertentu yang membuatnya demikian.
o.       Sekelompok huruf yang memiliki cara beramal sama, maka mereka akan dimasukan dalam sebuah keluarga seperti “inna” dan “kâna”. Masing-masing dari keluarga huruf tersebut memiliki cara kerja yang lebih luas. Itu sebabnya, ia disebut sebagai “ummul bab” (induk dari bab), masing-masing mereka juga memiliki hak beramal yang tidak dimiliki yang lain di luar kelompok mereka.

3.      Penyatuan tempat antara mubtada, fail dan naibul fail
Menurut beliau disatukannya ketiga bab tersebut karena antara ketiganya itu sama-sama isim, karena ketiga hukumnya sama-sama rafa’, kata beliau “jika kita melihat bab ini, kita akan menemukan bab yang menyebabkan ketiganya itu bisa dimasukkan dalam satu bab”.[6]
4.      Fathah bukanlah alamat I’rob
Jika selama ini tanda I’rab yang dikenalkan dalam nahwu ada tiga macam yaitu; fathah, kasrah dan dhammah, maka menurut Ibrahim musthafa fathah tidak dimasukkan ke dalam salah satu tanda i’rab. Jadi menurutnya, tanda i’rab itu hanya ada dua yaitu dhammah dan kasrah, keduanya muncul bukan karena adanya pengaruh dari amil tetapi dari sipembicara sendiri untuk menentukan makna dari kalimat.
Dhlommah adalah tanda dari isnad, sedangkan kasroh adalah tanda dari idlafah, Dalam kategori yang dibuat Ibrahim ada dua bahasan nahwu yang termasuk menerima tanda kasrah ini atau yang disebut idafah yaitu idafah konvensional (kata majmuk) dan idafah yang didahului oleh huruf (jar) seperti huruf “min. ila’ ‘an. ‘ala’ fi’ dan lain sebagainya yang olehnya disebut sebagai huruf idhafah (hurûf al-Idhafah).
Sedangkan fathah menurut beliau bukanlah termasuk dalam tanda I’rab karena menurut beliau fathah tidak enimbulkan atau menunjukkan ma’na apapun, adi sebenarnya fathah itu adalah tanda yang disukai orang arab dikarenakan fathah itu lebih ringan dari tanda yang lainnya.[7][8]
5.      Penolakan terhadab alamat I’rab fariyah (cabang)
Disamping i’rab asli (dhammah, kasrah dan fathah), para ahli nahwu klasik pada umumnya juga menciptakan i’rab cabang atau yang biasa disebut dengan “al-‘Alâmat al-Far’iyyah” yang beperan sebabagi pengganti dari i’rab yang asli.
Dalam kasus al-Asma’ al-Khamsah, seperti contoh-contoh berikut ini: "جاء أبوك، رأيت أباك، مررت بأبيك”, menurut ahli nahwu klasik yang pertama alamat rafa’nya ditandai dengan huruf “wawu”, yang kedua alamat nasabnya ditandai dengan huruf “alif” sedang dalam contoh ketiga alamat jarnya ditandai dengan huruf “ya’”



Menurut Ibrahim musthafa sesuatu seperti itu terlalu mengada-ngada dan sangat dipaksakan, karena kalimat tersebut sebenarnya kalimat yang mu’rab seperti kalimat yang lainnya, seperti pada kasus tanda “و” ketika rafa’ atau “ي” ketika jar pada jama’ mudzakkar salim, menurut beliau sebenarnya alamat dari hal ter sebut bukanlah “و” ataupun “ي”, tetapi kalimat tersebut tandanya bisa dikembalikan pada alamt asalnya yaitu dlommah dan kasroh.[9]
6.      Tawabi’
Tawâbi adalah sebuah kata atau kalimat yang mengikuti kata atau kalimat sebelumnya[10]. tawabi’ tersebut adalah “al-athf, al-na’at, al-taukid dan al-badal”[11]. Ibrahim tidak menolak adanya tawabi’ ini. Yang ia usulkan adalah agar pembahasan tentang athaf (al-Athf) tidak dimasukkan ke dalam jajaran tawabi atau menjadi pembahasan tersendiri. Sebab lafadz yang diatafkan memang tidak termasuk dari tawabi, tetapi lafadz yang memiliki kedudukan yang sejajar dengan ma’thuf-nya.[12]
Pertama menurut beliau a’thaf nasaq tidak dimasukkan dalam tawabi’, dikarenakan menurut beliau a’taf nasaq menyerupai terhadap sifat, dan i’rab dari hal ini dimasukkan dalam isnad ataupun idlafah, berarti menurut beliau pembahasan dari a’thaf nasaq terfokus pada ma’na huruf a’taf, bukan pada kalimatnya.[13]
Kedua, menurut beliau na’at sababi juga tidak bisa dimasukkan kedalam tawabi’, alasan dari na’at sababi ini juga sama dengan a’taf nasaq, maksudnya dengan sebab apapun na’at sababi adalah sifat.[14]
Ketiga, yang lebih aneh menurut beliau khabar harus dimasukkan dalam tawabi’, karena dilihat dari pengertian tawabi’ sendiri adalah kalimat yang mengikuti kalimat sebelumnya, menurut beliau khabar dimasukkakn kedalam tawabi’ karena hal ter sebut.[15]
7.      Isimnya (لا) نفيه للجنس
Menurut ulama ilmu nahwu terdahulu isimnya la nafiyah liljinsi ini mabni ala fathah, dan mahalnya nashab apabila mufrad, dan apabila mudaf atau syibeh mudaf maka menjadi mu’rab dan tetap dibaca nashab.[16]
Akan tetapi menurut ibrahim musthafa bukanlah seperti itu, jadi menurut beliau antara (لا) dan isimnya itu adalah satu kesatuan yang belum sempurna tanpa khabar setelahnya.[17] Contoh: لاريب,لاشك
8.      Tanwin dalam  alam
Menurut ulama nahwu terdahulu “tanwin adalah alamat dari isim”[18], sedangkan menurut ibrahim musthafa hal tersebut tidaklah benar, menurut beliau tanwin bukanlah alamat dari isim bahkan menurut beliau sebenarnya isim itu  tidak mungkin di tanwin kecuali yang nakirah.[19]
9.      Isim ghairu munsharif
Sebagaimana ibrahim mustafa tturkan bahwasanya tanwin adalah tanda dari nakirah, dan asalnya itu tidaklah ditanwin, maka isim ghairu munsharif itu adalah isim alam yang ajami yaitu nama-nama sealain nama orang arab, juga tarkib mazji, dan yang mengikuti wazan fiil, itu adalah yang tidak bisa kemasukan tanwin, dan itu bukanlah karena ilat tapi karena memang asalnya tidak ditanwin.[20]



















[1] دراسات نقدية في النحو العربيّ : المقدمة
[2] Abd al-Muta’al al-Sha’idy, al-Nahwu al-Jadîd, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1947), p.7.

[3] Ihya annahwu
[4] Ihya annahwi
[5] Ihya annahwi
[6] Ihya annahwi 54
[7] Ihya annahwi
[8]  يُنظر : في إصلاح النحو العربيّ
[9] Ihya annahwi
[10] jurumiah
[11] jurumiah
[12] Ihya annahwi
[13] Ihya annahwi
[14] Ihya annahwi
15 Ihya annahwi

[16] imrithi
[17] Ihya annahwi
[18] jurumiah
[19] Ihya annahwi
[20] Ihya annahwi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar