Selasa, 26 Juni 2012

Syauqi Dhaif


1. Biografi
1. 1. Syauqi Dhaif
Syauqi Dhaif lahir di Aulad Hamam, Mesir pada 13 Januari 1910, dan wafat pada14 Maret 2005, pada usia 95 tahun[1]. Dr. Syauqi Dhaif mengawali upayanya dalam pembaharuan nahwu dengan pen-tahqiq-annya terhadap buku karangan Ibnu Madha yaitu ar-Radd ala an-Nuhat wa al-Masyriq fi an-Nahwi, yang telah memberi warna baru dalam khazanah ilmu nahwu. Beliau merekonstruksi kembali pemikiran nahwu yang telah berkembang selama ini yang dianggap menyulitkan pengajaran nahwu dengan perinsip mudah, gampang, ringkas, sederhana, dan mudah dipahami oleh para pelajar bahasa Arab.
Beliau menuangkan pemikirannya tersebut dalam beberapa bukunya yaitu Tajdid al-Nahwi (1982), Taisiraat Lughawiyah (1990), dan Taisiru al-Nahwi al-Ta’limi Qadiman wa Haditsan ma’a Nahji Tajdidihi (1986). Diantara ketiga buku ini, yang paling masyhur dalam khazanah ilmu nahwu adalah yang pertama yaitu Tajdid al-Nahwi, yang menyajikan konsep-konsep yang sempurna dalam pengajaran nahwu, dan juga memberi warna-warna baru yang disandarkan atas perinsip-perinsip dasar yang bersumber dari buku Ibnu Madha.
1. 2. Pemikiran Syauqi Dhaif
Pemikiran Syauqi Dhaif dalam pembaharuan nahwu kurang lebih sama dengan konsep-konsep yang digagas oleh Ibnu Madha, hal ini dibuktikan dengan upaya beliau terhadap pen-tahqiq-an buku al-Radd ala al-Nuhat karangan Ibnu Madha. Beliau juga sependapat tentang pembuangan teori ’amil, membuang ’ilat tsawani dan tsawalits, pembatalan teori qiyas, dan juga meniadakan analisa teori-teori tanpa praktik, seperti i’lal[2]. Hanya saja dalam tahqiq-annya beliau menambahkan pendapat-pendapat yang mengokohkan teori-teori yang ada dalam buku tersebut[3].
Dalam pen-tahqiq-annya beliau merumuskan bahwa dalam upaya pembaharuan nahwu terdapat enam pokok konsep yang ditawarkan, yang meliputi:
a)      Penyusunan kembali bab-bab dalam nahwu yang tumpang tindih, menambahkan, dan mengumpulkan bab-bab yang dianggap sejenis. Seperti contoh Bab كان واخوتها hendaknya dimasukkan pada bab fi’il lazim. Teori merofa’kan isim dan menasobkan khobar diubah dengan isimnya menjadi failnya dan khobarnya menjadi hal saja.
b)      Menghapus dua peng-i’rab-an, yaitu taqdiri dan mahalli. Seperti contoh dari I;rab taqdiri adalah جأء الفتى  dibaca rofa’ tanpa harus menyebutkan rofa’ muqoddar yang aslinya dzommah
c)      Menghapus i’rab yang tidak efisien untuk kebenaran dalam pengucapan[4]. I’rab yang danggap tidak efisien  tersebut adalah bab ististna’, bab adawat syarat, kam istifhamiyah dan khabariyah, kata لاسيما  danان  yang disukun.
d)     Meletakkan pengertian-pengertian dan kaidah-kaidah yang lebih spesifik pada sebagian bab-bab nahwu. Secara garis besar Syauqi Dzaif berpendapat ada tiga definisi topik pembahsan materi nahwu yang perlu diperbaharui, yaitu bab Maf’ul Mutlaq, Maf’ul ma’ah, dan bab hal.
e)      Membuang penambahan-penambahan dalam bab nahwu yang tidak penting. Seperti pembuangan kaidah-kaidah isim alat, karena isim alat bersandar pada sima’i, dan tidak membuthkan kaidah.
f)       Penambahan topik yang dianggap signifikan. Seperti penambahan pembahasan khusus yang disertai kaidah-kaidah pengucapan atau makhraj, kerena dapat menumbuhkan kesadaran dalam menjaga al-Quran[5].
g)      Beliau berpendapat bahwa fi’il mudhori’ yang bersambung dengan nun taukid tidak berbeda dengan fi’il mudhori’ yang di dahului oleh amil nashob dimana keduanya sama-sama berkhir dengan harakat fathah. Seperti pada contoh kalimat لن أسافرَ  dari أسافرَنَ . Sebagaimana telah diketahui bahwa fi’il mudhori’yang bersambung dengan nun taukid mabni fathah.
Jika fi’il mudhori’ yang bersambung dengan nun taukid berharakat fathah karena nashob, lalu bagaimana dengan contoh: لا تمدحَنَّ امرا حتى تجرّبه. Lafadz تمدحَنَّ dinashobkan sedang lafadz tersebut didahukui oleh لا nahi yang notabene adalah huruf jer. Apakah nashob dan jer bisa berkumpul dalam satu keadaan yang sama?
Beliau juga merekomendasikan untuk menyamakan fi’il mudhori’ yang bersambung dengan nun niswah dalam I’rab jazem. Seperti pada contoh: النساء يسافرْن , النساء لن يسافرْن , النساء لم يسافرْن
1.      Dr. dhoif  juga menganggap bahwa khobar dapat berupa marfu’, mansub dan majzum.
Ø  Ketika nashob seperti contoh: ضربي العبدَ مسيئاً
Ø  Ketika jer seperti contoh: وما ربُك بظلامٍ للعبيد
2.      Anggapan beliau pada isim إنّ dan saudara-saudaranya sebagai mubtada’ yang didaca nashob dengan hujjah bahwa mubtada’ bisa dibaca jer ketika didahului oleh رُبَّ dan huruf  jer yang berupa tambahan. Beliau berdalih: “jika mubtada’ bisa dibaca jer, kenapa kita tidak mengatakan kalau mubtada’ bisa dibaca nashob?
Pada contoh: رُبَّ قولٍِِ أنفد من صول dan وليلٍ كموج البحر أرخى سدوله . lafadz قول dan ليل jelas dibaca jer karena sebagai mudhof ilaih, tetapi lafadz tersebut berkedudukan sebagai mubtada’. Sedang yang dimaksud oleh Dr. Syauqi Dhoif sebagai mubtada’ yang dibaca nashob seperti pada contoh: إن اللهَ عليم خبير
3.      Beliau mengatakan “sesungguhnya mudhaf ilaih itu menyerupai isim yang ikut pada isim yang lain walaupun wajib dibaca jer. Seperti contoh ثلاثة أقلام.disini jelas bahwa lafadz أقلام mengikuti lafadz ثلاثة. Bisa juga kta katakan الأقلام الثلاثة sebagai susunan sifat atau badal.”
4.      Beliau merekomendasikan untuk mengabaikan fa’il ataupun naibul fa’il ketika dalam bentuk dhomir mustatir. seperti contoh: زيد قام , محمد سُئل.  Menurut hemat beliau, tidak perlu repot-repot mengi’rabi kedua contoh yang telah disebut karena fa’il dan naibul fa’il dari keduanya “hanya” dhomir yang tidak terlihat oleh mata.
5.      Rekomendasi beliau untuk mengabaikan I’rab pada jumlah. Pada contoh: مررت برجل يزرع lafadz يزرع dii’rabi jer karena sebagai sifat dari lafadz رجل yang nakiroh. Tetapi pada contoh: مررت بالرجل يزرع  lafadz  يزرع dalam keadaan nashob karena sebagai hal. Sebagaimana perkataan para ahli nahwu bahwa “setiap jumlah yang jatuh setelah isim nakiroh berupa sifat, tetapi jika setelah ma’rifat maka jumlah tersebut berkedudukan sebagai hal.
6.      Beliau menganjurkan untuk mendalami penjelasan tentang kedudukan isim mabni, isim manqus, dan isim maqsur. Beliau berpendapat bahwa isim-isim ini perlu pejelasan lebih detail tentang kedudukannya pada kalimat, yang mana pada setiap I’rab yang ditempati, isim-isim ini tetap sama seperti sediakala.
Pada contoh: حضر سيبويهِ , رأيت سيبويهِ dan مررت بسيبويهِ. Lafadz سيبويهِ adalah isim mabni. Dalam setiap I’rab yang ditempati, lafadz سيبويهِ tidak mengalami perubahan dalam segi lafadznya. Oleh karena itu Dr. Syauqi Dhoif  mengaggap perlu untuk menjelaskan secara lebih rinci kedudukan satu lafadz yang berupa isim mabni, isim maqsur, dan isim manqus dalam jumlah.


[1] Dikutip dari www.wikipedia.com. Pada tgl 1 Mei 2012
[2] Lihat ‘Ala’ Isma’il al-Hamzawi, Mauqif Syauqi Dhaif min al-Darsu al-Nahwi, hal. 11-17. dikutip dari www.saaid.net
[3] Ibid. 6
[4] Ibid. 40
[5] Ibid. 42-53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar